Sunday, May 19, 2013

Mutiara Hati si Bungsu (2)

Ini adalah lanjutan cerita dari Si Bungsu berhati mutiara. Selamat menikmati
++++++++++++++++++++++++++++++++++

Sang ayah begitu senang, karena ada yang merawat dan memperhatikannya, tak jarang pula, si bungsu menyempatkan di waktu liburnya, untuk mengajak sang ayah berjalan-jalan, walau hanya sekedar makan berdua di luar, sampai menikmati keindahan alam di daerah sekitar kota tinggal mereka sekarang. Rupanya perlakuan si bungsu ini menjadi kebanggaan dan kepuasan tersendiri dari sang ayah, karena di hari tuanya, beliau masih bisa bercanda tawa dengan satu diantara anak tersayangnya, walau beliau sudah menderita penyakit tua (pikun).

Berselang beberapa bulan setelah kepindahan sang ayah ke kontrakan si bungsu. Sang ayah melemah kondisi fisiknya, beliau malah sering sakit-sakitan, dan suka manja dengan si bungsu, terkadang marah-marah. Memang ini sifat manusiawi yang terjadi, karena siklus psikis manusia seperti lingkaran tak berujung, berawal dari lahir yang tidak bisa apa-apa dan hanya menangis dan tertawa, hingga bisa mulai tengkurap, merangkak, berlari, hingga bekerja keras, namun ketika menjalani umur tuanya, maka akan kembali menjadi seorang manusia penuh manja dan labilnya.

Si Bungsu dengan tetap penuh kesabaran merawat sang ayah, malahan si bungsu lebih menyempatkan diri memanja-manjakan sang ayah. Suatu malam, ketika si bungsu mengajak sang ayah ke pantai (dingin banget pastinya), untuk melihat rembulan yang sedang tersenyum lebar dengan sempurna. Tiba-tiba sang ayah memeluk si anak, dan menunjuk pada hamparan pasir, lautan yang luas , hingga berpaku pada bulan tersebut, tak peduli disana banyak orang yang ikut serta menikmati indahnya bulan purnama dan berkata :

"Nak, lihatlah Allah menciptakan alam dan seisinya tanpa hal yang sia-sia. Tanpa meminta pun, Allah memberi kita hamparan pasir yang luas, agar kita semua bisa berkumpul disini rame-rame, diciptakan pula rembulan yang begitu indah untuk menemani keramaian, dan luasnya samudera untuk mempercantik sang bulan. Yakinlah nak, hanya untuk Allah-lah kita bernafas, hanya untuk Allah-lah kita beraktifitas, hanya untuk Allah-lah kita berjuang (menjalani hidup), karena itu adalah amanah dari Allah untuk kita di dunia ini. Kau tinggal pilih, mana yang kau ingin, menjadi hamparan pasir dan laut yang begitu besar dan banyak, atau menjadi sebuah rembulan yang kecil (dibanding hamparan pasir dan lautan), sederhana (berbentuk bulat), dan unik (berubah bentuk sesuai umur/tanggalnya)".

Si Bungsu hanya bisa mendekap erat sang ayah, hingga tak terasa tangannya basah oleh derasnya air mata yang mengalir dari keempat mata dan berpadu hingga menyentuh bumi dengan penuh lantunan 'tasbih'. Tak tersadar, sang ayah tertidur pulas dalam senyum puasnya di pelukan si bungsu.

Suara ayam berkokok dari seberang jalan membangunkan si bungsu, hendak mengajak sang ayah menghadap Penguasa Alam Semesta (Allah ta'ala) alias sholat subuh, ternyata sang ayah sudah lebih dulu berangkat, karena malaikat maut tanpa ijin kepada si bungsu, telah menjemput sang ayah dengan senyum untuk mengajak sang ayah menghadap langsung. Saat itu tepat ulang tahun sang ayah di usianya yang ke 90 tahun lebih beberapa jam, dan malam itu kado terindah untuk sang ayah dari si bungsu. Hanya diam bisu yang ada dalam diri si bungsu, memutar ulang cerita dan kata-kata sang ayah semalam.

+++++++++++++ TO BE CONTINUED ++++++++++

No comments:

Post a Comment