Monday, May 6, 2013

Cangkir Kopi yang Mengusik

[ Benarkah pendidikan nasional? ]

Sembari melipat sajadah seusai sholat isya, tiba-tiba pikiran saya terusik oleh cuplikan memory bedah buku sabtu sore kemarin.

Ya, memang bedah buku sore hari itu sangat sederhana, hanya digelar dalam sebuah ruangan seukuran ruang kelas kuliah yang disulap menjadi tempat diskusi panelis, bertemankan ac split dan sound system ala kadarnya.

Namun, hal yang menjadi istimewa adalah  personil yang melengkapi sesi santai sore itu dan tentunya segelas kopi, menggambarkan judul buku yang kita diskusikan sore itu, "Sang Guru dan Secangkir Kopi" buah pikiran Andi Achdian yang juga ikut nimbrung sore itu.

Pengusik pikiran saya malam ini adalah closing statemen yang disampaikan bu Itje (sebagai moderator) tentang kotak-kotak, batasan, kasta, golongan dan klasifikasi sekolah di Indonesia.

Beliau menyampaikan dengan santai, walau saat itu terasa sekali aura keseriusan, keprihatinan, ketidakpuasan tentang statemen sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah idola yang tumbuhkembang di tengah-tengah kamus kehidupan masyarakat berpendidikan.

Saya masih ingat betul, dikala beliau dengan lugas memaparkan tentang fenomena dan dampak klasifikasi sekolah tersebut, saat itu juga hati dan pikiran saya sepakat meng-'iya'-kan paparan bu Itje. Di saat itu juga, pikiran saya melenggang jauh kepada anak-anak didik saya, dimana mereka sekolah di instansi khusus yatim piatu dan dhuafa, yang seharusnya juga menjadi tanggungjawab aparatur negara.

Kegelisahan ini semakin menjadi, ketika melihat fakta di masyarakat, masih banyak yang menomorsekiankan perlu dan pentingnya pendidikan. Andaipun cita-cita luhur pendahulu kita ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tercetak rapi dalam etalase Pembukaan UUD 1945, mengapa hingga kini yang terjadi malah kemerosotan nilai-nilai luhur yang telah diperjuangkan sejak hampir satu abad silam.

Layakkah pendidikan bangsa kita saat ini disebut "Pendidikan Nasional"? Kalau masih sering kita dapati jurang pemisah antara sekolah negeri dan swasta.

Layakkah pendidikan bangsa kita saat ini disebut "Education for All" seperti kutipan sambutan Kemdiknas 2 Mei kemarin? Kalau masih banyak kita jumpai fakta di masyarakat tentang kasta sekolah, sehingga anak-anak didik yang seharusnya punya hak yang sama, menjadi tersisihkan dan merasa berbeda hanya karena soal tradisi maupun (mohon maaf) urusan finansial.

Ah, ini hanya usikan pikiran, yang penting saat ini adalah bagaimana kita bisa mulai melangkah selaras untuk menata kembali puzzle misteri pendidikan Indonesia, demi terwujudnya generasi intan Indonesia.

*RefleksiDuaMei by #MotivaSyam

No comments:

Post a Comment